RELATIF.ID, GORONTALO – Penonaktifan sementara salah satu dosen Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO) menuai sorotan.
Sejumlah pihak menilai keputusan tersebut tidak adil dan terkesan tergesa-gesa. Salah satunya datang dari Rizal Agu, alumni Fakultas Hukum UMGO, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk kezaliman.
Menurut Rizal, tindakan kampus menonaktifkan dosen tanpa melalui sidang kode etik dan tanpa memberi kesempatan untuk membela diri merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan transparansi dalam dunia akademik.
“Ini adalah salah satu bentuk kezaliman yang nyata ketika orang yang menyampaikan kebenaran justru mendapatkan intimidasi, bahkan sampai dinonaktifkan sementara. Jika dosen saja bisa diperlakukan demikian, bagaimana dengan mahasiswanya? Bisa saja hal ini menjadi bumerang bagi kampus ke depan, bahkan membuat mahasiswa takut untuk kuliah di UMGO,” ujar Rizal, Minggu (19/10/2025).
Ia juga meminta Rektor UMGO agar meninjau kembali keputusan penonaktifan dosen tersebut. Rizal mengatakan, langkah itu tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya, karena dilakukan tanpa sidang kode etik dan tanpa memberikan hak jawab kepada dosen yang bersangkutan.
“Saya meminta Rektor UMGO agar meninjau kembali keputusan penonaktifan dosen tersebut, karena ini keputusan yang tidak adil. Masa dinonaktifkan tanpa sidang kode etik, bahkan tanpa diberi kesempatan membela diri. Isi SK pemberhentian pun terlalu banyak kejanggalan,” tegasnya.
Sebagai alumni, Rizal menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Ia berencana akan membawa persoalan tersebut ke Komisi IV DPRD Kabupaten Gorontalo agar mendapatkan titik terang dan keadilan bagi dosen yang disebutnya “dizalimi”.
“Saya sebagai alumni Fakultas Hukum UMGO akan mengawal kasus ini, dan akan melaporkannya ke Komisi IV DPRD agar persoalan ini mendapat titik terang. Dosen itu telah dizalimi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rizal mendesak pihak rektorat untuk memberikan penjelasan terbuka kepada publik mengenai dasar penonaktifan dosen tersebut. Ia menilai langkah kampus kali ini bisa menimbulkan preseden buruk bagi kebebasan akademik dan citra UMGO di mata masyarakat.
“Saya harap Rektor bisa bertanggung jawab atas persoalan ini serta melakukan penjelasan secara terbuka. Ada apa dengan UMGO kali ini, sehingga berani menonaktifkan dosen tanpa sidang kode etik atau kesempatan membela diri? Apakah hanya karena membela kebenaran?” pungkasnya.
Sebelumnya, dosen UMGO Fira Makmur diduga dinonaktifkan setelah membela mahasiswi berinisial HP yang mengaku mendapat tekanan dari pihak kampus melalui melalui podcast di saluran YouTube.
Dalam video podcast di saluran YouTube bersama Fira, HP menceritakan perasaannya serta situasi yang sebenarnya terjadi.
Selain dosen, Fira Makmur juga aktif membuat konten edukatif di saluran YouTube-nya.
“Saya hanya ingin memberikan ruang bagi mereka yang ingin berbicara melawan penindasan,” ujar Fira Makmur dikutip dari Dulohupa.id pada Jumat (17/10/2025).
Hingga kini, kasus itu menjadi perbincangan di kalangan civitas akademika dan masyarakat Gorontalo. (Beju)


 
									

