RELATIF.ID, GORONTALO – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pro Jurnalismedia Siber Provinsi Gorontalo, Jhojo Rumampuk, mengungkapkan adanya ancaman terhadap keselamatan dirinya yang diduga berasal dari salah satu pengusaha tambang emas ilegal (PETI) di wilayah DAM, Kabupaten Pohuwato.
Ancaman tersebut muncul setelah intensitas pemberitaan yang dilakukannya mengenai aktivitas tambang ilegal di kawasan tersebut.
Jhojo mengaku mendapatkan informasi, bahwa pengusaha tersebut telah mengundang sejumlah preman ke rumahnya untuk membahas dirinya, menyusul liputan yang konsisten mengenai kegiatan penambangan emas tanpa izin di wilayah yang menjadi sumber air bersih bagi ribuan warga Pohuwato.
“Pengusaha tambang ilegal itu diduga memanggil preman untuk membicarakan saya karena pemberitaan yang terus saya angkat terkait PETI di wilayah DAM. Ini jelas merupakan ancaman bagi keselamatan saya sebagai jurnalis,” ujar Jhojo Rumampuk, Sabtu (19/10/2024).
Jhojo, yang juga berprofesi sebagai jurnalis aktif, telah berulang kali melaporkan tentang penambangan ilegal yang menggunakan alat berat jenis ekskavator, yang diyakini merusak lingkungan dan membahayakan sumber air bersih.
Sementara itu, pemberitaannya pun dianggap telah memicu kemarahan pihak-pihak berkepentingan, termasuk oknum anggota DPRD Pohuwato yang diduga terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.
“Saya hanya menjalankan tugas jurnalistik untuk menyampaikan fakta kepada publik. Situasi ini sangat mengkhawatirkan, karena ancaman tersebut datang dari pihak yang terlibat dalam aktivitas ilegal yang seharusnya ditindak oleh aparat penegak hukum,” tambahnya.
Penting diketahui, ancaman terhadap keselamatan jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang dalam Pasal 8 menyatakan bahwa jurnalis berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.
Tindakan intimidasi atau ancaman terhadap jurnalis yang mengungkap masalah publik dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia serta menghalangi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Selain itu, penambangan tanpa izin (PETI) diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Kegiatan penambangan tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 158, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar.
Jhojo mendesak agar aparat penegak hukum, khususnya Polres Pohuwato, segera bertindak tegas terhadap ancaman ini dan memberikan perlindungan kepada jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya untuk kepentingan publik.
“Saya berharap pihak berwenang bertindak cepat sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ini bukan hanya tentang keselamatan saya, tetapi juga tentang perlindungan kebebasan pers di negara ini,” tegas Jhojo.
Kasus ancaman ini juga telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk aktivis lingkungan dan pengamat hukum, yang menyerukan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik PETI.
Mereka juga mendesak agar jurnalis yang mengungkap masalah-masalah kritis di daerah mendapatkan perlindungan maksimal.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak kepolisian belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan ancaman tersebut.
Namun, insiden ini semakin menambah daftar panjang kasus intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia, terutama bagi mereka yang berani mengangkat isu-isu sensitif seperti penambangan ilegal.
Penulis: Beju