RELATIF.ID, GORONTALO (Opini)_ Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia telah menjadi sorotan tajam belakangan ini, terutama setelah berbagai insiden yang mencerminkan adanya kegagalan dalam sistem. Kasus terbaru di Gorontalo, di mana Bawaslu mengadakan konser yang memakan biaya lebih dari setengah miliar rupiah, bukan hanya memperlihatkan pemborosan anggaran, tetapi juga menyoroti masalah mendasar dalam integritas dan transparansi pemilu. Dalam konteks ini, masyarakat perlu bertanya: Apakah pilkada yang kita jalani saat ini benar-benar mewakili suara rakyat?
Pengaruh Netralitas Kepala Desa dan ASN
Dugaan keterlibatan kepala desa di Kabupaten Gorontalo Utara dalam mendukung pasangan calon tertentu menunjukkan adanya pelanggaran netralitas yang signifikan. Kepala desa, yang seharusnya bertugas melayani semua warga, terlihat memberikan dukungan terbuka kepada salah satu pasangan calon, sehingga menciptakan persepsi ketidakadilan. Hal ini menjadi cermin kegagalan Bawaslu dalam mendidik dan menegakkan prinsip-prinsip netralitas di kalangan mereka yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dalam pemilu. Menurut analisis yang dilakukan oleh Jurnal Pemilu dan Politik, ketidakmampuan lembaga pengawas ini untuk mencegah pelanggaran seperti ini semakin memperkuat anggapan bahwa pilkada hanyalah formalitas belaka (Santosa, 2023).
Pemborosan Anggaran dan Kemandegan Demokrasi
Investasi besar untuk konser alih-alih program edukasi pemilih yang substansial menunjukkan kurangnya perhatian terhadap nilai demokrasi yang sebenarnya. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran politik justru dialihkan untuk acara yang tidak memberikan dampak berarti. Anggaran konser yang mencapai Rp 600 juta mencerminkan sebuah langkah yang tidak bijaksana, terlebih dalam situasi ekonomi yang sulit bagi banyak masyarakat. Peneliti dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa pemborosan anggaran semacam ini hanya akan memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu (Budianto, 2024).
Munculnya Golput Ideologis
Kekecewaan terhadap proses pemilu berujung pada meningkatnya golput ideologis. Banyak warga yang memilih untuk tidak memberikan suara, merasa bahwa pilihan mereka tidak akan mempengaruhi hasil, atau merasa tidak ada kandidat yang mewakili aspirasi mereka. Fenomena ini bukan sekadar indikasi ketidakpuasan, tetapi juga refleksi dari hilangnya kepercayaan terhadap institusi pemilu. Menurut Lembaga Survei Indonesia, angka golput pada pemilu terakhir mencapai 30%, yang menunjukkan bahwa ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi semakin mengakar (LSI, 2024).
Menghadapi Tantangan: Saatnya Mempertanyakan Proses Demokrasi
Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat untuk mengevaluasi kembali kepercayaan mereka terhadap proses pilkada. Jika pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat dan hanya menjadi ajang kepentingan politik tertentu, maka partisipasi dalam pemilu tersebut tidak akan membawa makna. Untuk itu, masyarakat perlu menuntut peningkatan transparansi dan akuntabilitas dari lembaga penyelenggara pemilu.
Ketidakpuasan ini harus dijadikan momentum untuk mendorong reformasi sistemik dalam proses demokrasi. Kita perlu bersuara dan berpartisipasi dalam mengubah cara penyelenggaraan pemilu agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Penelitian dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa perbaikan dalam transparansi pemilu dapat meningkatkan partisipasi pemilih dan kepercayaan masyarakat (Kemendagri, 2023).
Penting untuk menyadari bahwa pemilu yang tidak mencerminkan suara rakyat hanya akan semakin memperlebar jarak antara masyarakat dan sistem politik. Mari kita bersatu untuk menuntut pemilu yang lebih adil, transparan, dan benar-benar mencerminkan aspirasi kita sebagai rakyat.