RELATIF.ID, GORONTALO – Kabupaten Gorontalo menghadapi persoalan serius terkait kesejahteraan aparat desa. Selama tiga bulan terakhir ini, ratusan aparat desa yang tersebar di 191 desa belum menerima gaji tetap dan tunjangan sejak Oktober hingga Desember 2024.
Kondisi ini mendorong puluhan perwakilan aparat desa, termasuk kepala desa (kades) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gorontalo untuk menyampaikan keluhan mereka, Selasa (03/12/2024).
Dalam pertemuan tersebut, DPRD Kabupaten Gorontalo menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin oleh Ketua Komisi I, Mukhlis Panai. RDP dihadiri oleh perwakilan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI), Asosiasi BPD, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), serta Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD).
“Untuk memberikan penjelasanya lebih detail terkait kondisi keuangan daerah yang menyebabkan hak dari pada pemerintah desa belum terpenuhi,” jelas Mukhlis.
Mukhlis Panai menjelaskan, bahwa rapat tersebut menghasilkan tiga kesepakatan. Pertama, pemerintah daerah berjanji akan membayarkan gaji untuk bulan Oktober dalam waktu dekat. Kedua, pembayaran gaji bulan November dan Desember akan menunggu pemulihan keuangan daerah. Ketiga, percepatan penerbitan peraturan bupati diharapkan memastikan gaji aparat desa untuk Januari 2025 dapat terealisasi.
“Yang jelas hak pemerintah desa akan direalisasikan atau akan ditunda tahun berikutnya,” katanya.
Namun, Mukhlis mengkritik pengelolaan keuangan daerah yang dinilai kurang tepat. Menurutnya, dana desa yang menjadi kewajiban pemerintah sebesar 10 persen dari transfer daerah seharusnya disisihkan sejak awal, bukan dialihkan ke alokasi kegiatan lain.
“Sebenarnya ketika dana sudah masuk, 10 persen kewajiban daerah terhadap desa itu harusnya sudah disisikan tidak lagi digunakan ke alokasi kegiatan lainnya,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala BKD Kabupaten Gorontalo, Harianto Manan menyebutkan, bahwa keterlambatan ini disebabkan oleh minimnya realisasi Dana Alokasi Umum (DAU).
“Dari total DAU sebesar Rp 700 miliar lebih, yang diterima hanya Rp 500 miliar. Dari jumlah itu, Rp 400 miliar digunakan untuk membayar gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga anggaran untuk desa tidak tersedia,” ungkap Harianto.
“Sehingga dana lebih banyak diserap untuk dibayarkan pegawai negeri sehingga minus,” lanjutnya.
Meski dijelaskan, para aparat desa tetap merasa kecewa. Wowiling Habibullah, Ketua APDESI yang juga Kepala Desa Hutadaa mengungkapkan, bahwa keterlambatan gaji berdampak pada kehidupan mereka. Ia sendiri mengalami pemutusan listrik rumah oleh PLN.
Selain itu, beberapa aparat desa mengeluhkan iuran BPJS yang belum terbayarkan, sehingga mereka tidak dapat berobat. Bahkan, ada yang memilih mundur dari jabatannya karena tekanan ekonomi yang tak kunjung terselesaikan.
Lebih lanjut, para aparat desa berharap pemerintah daerah segera merealisasikan hak-hak mereka dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik menjadi tuntutan utama agar kesejahteraan mereka sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat dapat terjamin.
Penulis: Beju