RELATIF.ID – Keputusan DPP PDI Perjuangan untuk mencalonkan Hamsah Isa sebagai calon kepala daerah di Gorontalo, sambil mengabaikan sosok Kris Wartabone yang telah terbukti memiliki rekam jejak kuat dan peluang menang tinggi, memunculkan banyak tanda tanya. Langkah ini, yang dianggap kontroversial oleh banyak kalangan, mengundang kritik tajam terhadap strategi politik yang diambil oleh pimpinan pusat partai.
1. Pengabaian terhadap Kekuatan Lokal
Kris Wartabone, sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan Gorontalo, telah menunjukkan kepemimpinan yang solid dan berhasil membangun basis massa yang loyal. Kepemimpinannya selama ini telah memperkuat struktur partai di daerah dan menciptakan jaringan yang erat dengan akar rumput. Dalam konteks politik lokal, kekuatan semacam ini adalah aset yang tak ternilai, terutama dalam memenangkan pemilihan.
Namun, keputusan DPP untuk tidak memberikan rekomendasi kepada Kris dan malah mendukung Hamsah Isa tampak seperti pengabaian terhadap realitas di lapangan. Kris memiliki pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik lokal dan telah menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun dukungan yang kuat. Mengesampingkannya demi calon lain yang kurang berpengalaman dalam mengelola jaringan partai di daerah tampaknya bukan langkah yang bijak.
2. Potensi Kekalahan PDIP di Gorontalo
Dengan mencalonkan Hamsah Isa, DPP PDI Perjuangan mengambil risiko besar yang bisa berujung pada kekalahan partai di Gorontalo. Hamsah, meskipun mendapatkan dukungan dari pusat, dikritik karena kurangnya penguasaan terhadap struktur partai lokal. Tanpa pemahaman dan kendali yang kuat atas jaringan partai di tingkat daerah, Hamsah akan menghadapi kesulitan besar dalam memobilisasi dukungan di akar rumput, yang merupakan faktor kunci dalam memenangkan pemilihan.
Keputusan ini berisiko menimbulkan kekecewaan di kalangan kader dan simpatisan partai yang telah lama bekerja di bawah kepemimpinan Kris. Jika mereka merasa bahwa kerja keras dan loyalitas mereka tidak dihargai, hal ini dapat mengurangi motivasi dan partisipasi mereka dalam kampanye, yang pada gilirannya dapat melemahkan posisi PDIP dalam pemilihan.
3. Friksi Internal dan Melemahnya Solidaritas Partai
Keputusan DPP untuk mengabaikan Kris Wartabone juga berpotensi menciptakan friksi internal di tubuh PDIP. Ketidakpuasan di kalangan kader daerah terhadap keputusan ini dapat mengakibatkan melemahnya solidaritas partai, yang sangat diperlukan untuk memenangkan pemilihan. Ketegangan antara struktur pusat dan daerah dapat memperburuk koordinasi dan menyebabkan disintegrasi dalam upaya kampanye.
Lebih jauh, jika Hamsah Isa gagal dalam pemilihan, keputusan DPP ini bisa dilihat sebagai langkah yang merugikan partai secara keseluruhan. Kekalahan di Gorontalo tidak hanya akan berdampak pada hasil pemilihan lokal, tetapi juga dapat merusak citra PDIP sebagai partai yang mampu mendengarkan dan menghargai aspirasi daerah.
4. Perlunya Evaluasi dan Penyesuaian Strategi Politik
DPP PDI Perjuangan perlu melakukan evaluasi serius terhadap keputusan ini dan mempertimbangkan kembali strategi politik yang diambil. Mengabaikan kekuatan lokal yang telah dibangun dengan susah payah dan mendukung calon yang kurang memiliki penguasaan terhadap struktur partai adalah langkah yang sangat berisiko. Jika PDIP ingin mempertahankan kekuatannya di Gorontalo, partai harus memastikan bahwa calon yang diusung adalah sosok yang memiliki peluang terbesar untuk menang, dengan dukungan penuh dari seluruh struktur partai.
Dalam kesimpulan, keputusan DPP PDI Perjuangan untuk mencalonkan Hamsah Isa sambil mengabaikan Kris Wartabone adalah langkah yang perlu dipertanyakan dan dikritisi. Dengan risiko yang menyertainya, langkah ini bisa berdampak negatif terhadap peluang PDIP dalam memenangkan Pilkada di Gorontalo, serta mengganggu harmonisasi internal partai. DPP perlu mempertimbangkan ulang keputusannya demi kepentingan jangka panjang partai dan kesuksesan di pemilihan mendatang.
Editor: Beju