INOVASI DAERAH : Kajian Filsafat Pragmatis dan Idealis, Antara Prestasi atau Prestise

112

Lillyan Hadjaratie, Ansar, Hariadi Said, Arwildayanto (Mahasiswa dan Dosen Program Doktor Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo)

RELATIF.ID, GORONTALO__Inovasi, sejak tahun 1934 telah sudah menjadi trending dalam ruang publik, pertama kali digagas oleh Schumpeter sebagai sebuah destruksi kreatif yang terus menjadi kata yang sering didengar dan disosialisasikan secara massif. Inovasi sebagai sebuah ide, gagasan, objek, dan praktik, yang dilandasi dan diterima sebagai suatu hal baru oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk diadosi, baik itu berupa hasil invention yang benar-benar baru hasil kreasi manusia atau discovery yang telah ada sebelumnya namun belum banyak diketahui oleh khalayak, dapat dibedakan atas empat jenis inovasi menurut Kuratko, yaitu “penemuan” sebagai sebuah kreasi suatu produk, jasa, ataupun proses baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, “pengembangan” sebagai kelanjutan atau perbaikan dari penemuan, “duplikasi” sebagai sebuah kegiatan meniru dan memperbanyak penemuan yang suda ada, serta “sintesis” sebagai sebuah perpaduan konsep dan formula yang sudah ada menjadi formula yang baru.

Inovasi memiliki kaitan dengan perspektif pragmatis yang dikembangkan oleh 3 tokoh yaitu Charles S. Pierce (1839), William James (1842), John Dewey (1852), karena inovasi itu selalu adaptif dengan perubahan dan dipengaruhi oleh faktor situasional baik ide, gagasan maupun produk yang memiliki keunikan dan bermanfaat. Charles S Pierce, bahwa metode pragmatis menguji ide menjadi hal yang realistis. Wiliam James, memiliki pemahaman yang sama dengan Charles S.Pierce tentang pragmatis, bahwa  metode pragmatis berdasarkan temuan faktual atau pengalaman yang dialami oleh manusia, sedangkan John Dewey, berpendapat  pragmatisme harus berbasis   pada    pengalaman    yang  dialami. Para pemikir pragmatisme  berpendapat bahwa  sebuah kenyataan bukanlah  sesuatu yang abstrak,  akan tetapi berdasarkan pengalaman dinamis  dan  transaksional. Pada tahap ini inovasi memiliki kaitan erat dengan perspektif pragmatis dibandingan persepektif idealis yang konstan dan tetap. Inovasi lebih dinamis, adaptif, selalu berubah dipengaruhi oleh faktor situasional.

Bergeser ke Inovasi Daerah, Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah, membuka kans kepada daerah dan warganya untuk dapat berkreasi menciptakan terobosan baru guna meningkatkan daya saing dan kinerja penyelenggara pemerintahan. Inovasi daerah dalam rangka pembaharuan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berbentuk inovasi tata kelola pemerintahan daerah, inovasi pelayanan publik, dan inovasi daerah lainnya sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Oleh Kementerian Dalam Negeri, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan, inovasi daerah diukur melalui sebuah Indeks Inovasi Daerah (Regional Innovation Index) dan dinilai melalui sebuah kompetisi Innovation Government Award (IGA) setiap tahunnya, agar dapat mendorong adanya kompetisi positif antar perangkat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 388 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat undap memberikan penilaian terhadap inovasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan  memberikan penghargaan dan/atau insentif kepada pemerintah daerah yang berhasil melaksanakan inovasi, sebagai motivasi dan bentuk pengakuan terhadap pelaksanaan inovasi daerah, dan selanjutnya menghasilkan predikat pemerintah daerah yang “sangat inovatif”, “inovatif”, “kurang inovatif”, atau “disclaimer”.

Sebagai gambaran umum, jumlah inovasi daerah yang dipublikasikan oleh Pemerintah Daerah ke Kementerian Dalam Negeri mengalami eskalasi dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, yaitu 576 inovasi tahun 2017, 3.718 inovasi tahun 2018, 8.016 inovasi tahun 2019, 17.779 inovasi tahun 2020, dan 25.124 inovasi tahun 2021. Pemerintah daerah yang mendapatkan penilaian dengan urutan indeks lima tertinggi dan predikat “inovatif” dalam 2 (dua) tahun terakhir (2020 dan 2021), karena hasil Innovation Government Award (IGA) tahun 2022 belum dirilis pada saat tulisan ini dipublikasikan, yaitu pemerintah daerah Provinsi  Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, dan Banten (untuk tahun 2020), serta Provinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (untuk tahun 2021). Provinsi yang berada di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera yang lebih banyak mendominasi, kecuai Nusa Tenggara Barat yang memberikan kejutan dan pengalaman praktik baik dengan meningkatnya peringkat Indeks Inovasi Daerah dari urutan yang paling terakhir (34 dari 34 provinsi) pada tahun 2020, kemudian secara siginifikan naik menjadi peringkat 2 dari 34 provinsi pada Tahun 2021. Provinsi Gorontalo sendiri, pada tahun 2020 masih berada pada peringkat 30 dari 34 provinsi, sedemkian rupa berusaha menaikkan peringkatnya menjadi 14 dari 34 provinsi pada tahun 2021. Apakah peningkatan angka indeks dan peringkat tersebut, menjadi kemudian dinilai sebagai sebuah “prestasi” atau hanya menjadi sebuah “prestise ???

Secara etimologi, pengertian prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie yang artinya hasil dari usaha. Sedangkan pengertian prestasi secara terminologi adalah hasil yang telah dicapai setelah melakukan berbagai usaha yang sebaik-baiknya. Prestise, secara etimologi didefinisikan sebagai sebuah wibawa yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki. Dalam ilmu sosiologi, prestise (bahasa Inggris : prestige) adalah status sosial, kehormatan, kedudukan, martabat, gengsi, tersemasuk konsepsi prestise sebagai sebuah atribut tetap untuk posisi di dalam urutan stratifikasi. Pandangan berbeda dalam bahas Latin, yang menyatakan bahwa prestise yang berasal dari kata Prestigiae memiliki menyiratkan adaya suatu ilusi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa prestasi selalu memiliki energi positif, sedangkan prestise berpeluang diidentikkan dengan energi negatif, jika dari prestasi yang diperoleh hanya bertujuan untuk meningkatkan prestise semata, dan bukan pada sebuah peningkatan kemampuan atau kemajuan dari hasil yang telah dicapai.

Perdebatan antara prestise atau prestasi juga akan menarik jika dianalisis dari perspektif idealis yang dikembangkan oleh para filsuf sekelas Plato dkk, yang memiliki mashab pragmatis dengan pemikiran bahwa ide itu tetap dan tidak mengalami perubahan serta pergeseran. Ide dalam aliran idealis ini berbeda dengan ide dalam inovasi yang selalu berubah dan dinamis. Dalam tataran idealis, capaian yang telah diraih oleh daerah-daerah apakah sudah mengacu pada norma, regulasi, dan rules of game dari Kementerian Dalam Negeri? Kalau sudah mengacu pada norma dan regulasi, idealnya semua daerah akan mendapat predikat “sangat inovatif”, namun bagaimana dengan daerah lain yang hanya mendapat predikat “cukup inovatif”, “kurang inovatif” bahkan “dislamer”, apakah lantas dinilai tidak mengacu pada regulasi? Perlu ada analisis yang mendalam dan evaluasi untuk menjawabnya. (*)

You might also like
Verification: 436f61bca2cedeab