
Oleh : Andi Inar Sahabat, SH.MH | 07/01/2022
Dosen Program Studi Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo (UNUGO)
Kurang lebih dua puluh lima tahun sudah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child) yang dimanifestasikan dalam Kepres No. 36 Tahun 1990. Salah satu point dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yakni perlindungan khusus anak yang meliputi hak anak di daerah pengungsi, hak anak yang berkonflik dengan hukum, hak anak atas perlindungan dari eksploitasi seksual, pornografi, dan prostitusi anak, serta hak anak dari pribumi dan minoritas. Lebih lanjut sebagai konskuensi dari ketentuan pasal 28B konstitusi Indonesia, kebijakan pemerintah terkait dengan perlindungan anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (sebelumnya UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Masyarakat cenderung “melabeli” setiap anak yang berkonflik dengan hukum. Mereka dianggap sebagai anak “khusus” berperilaku menyimpang dan tidak layak bersosialisasi ditengah pergaulan sosial. Stigma dilekatkan pada pribadi sang anak bukan pada tindakan yang dilakukan, sehingga seberat apapun sanksi yang dijalani sebagai konsekuensi dari tindakannya tak lantas menghapus cap jahat yang melekat padanya. Dalam proses pemeriksaan hingga mengadili, tak jarang aparat penegak hukum menggunakan “tangan besi” dalam menangani perkara sehingga anak terguncang psikologisnya. Perlakuan kasar dan tidak manusiawi sangat mempengaruhi suasana kebatinan sang anak.
Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) diatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum baik anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Substansi yang paling mendasar dalam regulasi ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial tanpa perlu cemas diasingkan dalam masyarakat.
Keadilan restoratif (restorative justice) adalah sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan (Tony Marshall). Sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dengan ketentuan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan atau bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ahli hukum pidana dan kebijakan Universitas Minnesota Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan.
Ditinjau dari perspektif ilmu pemidanaan, Paulus Hadisuprapto (2003) meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (label jahat). Dikemukakan pula oleh Barda Nawawi Arief (1994), pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali menjadi anak ”baik”. Restoriative justice menjadi oase dalam maraknya kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku.
Semangat untuk menegakan hak-hak anak khususnya yang berkonflik dengan hukum secara eksplisit telah nampak pada UU SPPA. Mulai dari tingkatan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara yang harus mengupayakan diversi hingga anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Penyidik dan Hakim yang “menangani” harus berdedikasi, memahami masalah anak serta telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Harus adanya Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai tempat anak dalam menjalani masa pidananya dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Kesemuanya menjadi hal yang wajib dipenuhi untuk menjamin kepentingan terbaik bagi anak.
Secara substansial UU SPPA telah responsif terhadap jaminan hak anak, namun dalam tingkat implementasinya aparat penegak hukum cenderung mengedepankan penjatuhan pidana penjara dari pada sanksi yang dapat memperbaiki moral dari anak. Pengetahuan aparat penegak hukum khususnya di Indonesia tentang penanganan kasus anak memang masih kurang. Aturan yang diterapkan juga hampir sama pemberlakuannya dengan penerapan aturan bagi terpidana dewasa serta menomorduakan kondisi psikologis dan kepentingan anak. Minimnya sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan juga menjadi salah satu kendala pemisahan pelaku tindak pidana dewasa dan anak sebagai pelaku tindak pidana sehingga bisa jadi anak tersebut terkontaminasi hal-hal negatif yang tidak bersifat edukatif.
Upaya untuk melindungi hak-hak anak harus sedikit “dipaksakan” diantara minimnya infrastruktur dan lemahnya prosedur hukum yang dijalankan sesuai undang-undang. Menunggu semuanya tersedia tentu butuh waktu dan materi, namun tak pantas dijadikan alasan pengabaian kepentingan anak. Beberapa daerah di Bali dan Yogyakarta sudah menurunkan pengaturan perlindungan anak sampai ke tingkat Peraturan Daerah (Perda), namun berfokus pada prespektif anak sebagai korban, sedangkan anak sebagai pelaku masih belum terjamah.
Disamping itu, masyarakat wajib berperan dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial. karakteristik , situasi, dan kondisi dari masing-masing daerah tersebut berbeda, sehingga tindakan yang diperlukan dalam upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh pemerintah daerah tentu akan berbeda. Hal inilah yang menjadi pijakan pentingnya mengatur Perlindungan anak dalam Peraturan Daerah (Perda) baik dari sisi anak sebagai korban juga anak sebagai pelaku dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan restorative. Komitmen pemerintah dalam perlindungan anak termasuk legislatif dengan segala fungsi dan wewenangnya akan tercermin dari segala kebijakan dan regulasi daerah yang ada atau hendak dibuat.
Anak-anak membutuhkan cinta, khususnya ketika mereka tidak pantas mendapatkannya (Harold Hulbert)