RELATIF.ID, GORONTALO__Sejumlah pihak yang merasa dirugikan oleh penyebaran video dugaan gratifikasi menyatakan akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan balik para pelaku penyebaran serta pihak yang melaporkan video tersebut.
Hal ini disampaikan melalui juru bicara mereka, Hengki Maliki, yang menegaskan bahwa tindakan tersebut dinilai melanggar berbagai aturan perundang-undangan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Video Diduga Tidak Memiliki Kekuatan Pembuktian.
Hengki menjelaskan bahwa video yang beredar dan dijadikan dasar pelaporan dugaan gratifikasi tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah sesuai ketentuan hukum. Ia menyoroti Pasal 311 KUHP tentang Fitnah, di mana perbuatan menuduh seseorang tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
“Video yang dijadikan bukti tidak menunjukkan adanya tindakan nyata, melainkan hanya pernyataan sepihak yang direkam secara diam-diam tanpa persetujuan para pihak melalui ‘Candid Camera’ atau ‘Candid Voice Recorder.’ Berdasarkan prinsip hukum, pernyataan semacam ini tidak memiliki kekuatan pembuktian,”ujar Hengki. Rabu (19/02/2025).
Lebih lanjut, ia merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901/K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988 yang menegaskan bahwa surat pernyataan yang dibuat sepihak dan tidak diperiksa dalam persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian. “Hal ini juga berlaku untuk video tersebut. Jika tidak ada bukti nyata berupa transaksi uang atau barang yang menunjukkan indikasi gratifikasi, maka tuduhan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Langkah Hukum dan Pelanggaran UU ITE.
Sejumlah pihak yang merasa dirugikan menyatakan akan melaporkan balik pihak-pihak yang menyebarkan dan melaporkan video tersebut atas dugaan pelanggaran UU ITE No. 1 Tahun 2024, khususnya Pasal 27, 45, 45A, dan 45B, serta mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PPU-XIV/2016.
“Kami meminta pihak yang menyebarkan video ini untuk membuktikan tuduhan mereka. Jika tidak terbukti, maka ini jelas merupakan pencemaran nama baik yang melanggar hukum, termasuk UU No. 1 Tahun 2024 dan KUHP,” lanjut Hengki.
Menurut Hengki, pasal-pasal dalam UU ITE yang relevan dengan kasus ini antara lain:
Pasal 27 Ayat (3): Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan konten elektronik yang mengandung pencemaran nama baik.
Pasal 45 Ayat (3): Mengatur ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 dengan hukuman pidana maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Pasal 45A dan 45B: Mengatur sanksi pidana bagi penyebaran informasi elektronik yang menyesatkan dan berdampak negatif bagi individu maupun kelompok.
Dampak Hukum dan Sosial
Hengki menegaskan bahwa penyebaran video tanpa dasar bukti yang kuat dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku penyebaran, baik individu maupun media yang mempublikasikannya. “Jangan sampai hanya karena sebuah video yang berisi pernyataan sepihak tanpa bukti transaksi uang atau barang, nama baik seseorang hancur karena pemberitaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tindakan menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya tidak hanya berdampak pada individu yang dituduh, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga atau institusi terkait.
“Jika memang ada dugaan gratifikasi, seharusnya disertai bukti konkret, bukan hanya pernyataan di dalam video. Kami akan memastikan bahwa para pelaku penyebaran informasi menyesatkan ini mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum,” pungkas Hengki.
Dengan langkah hukum yang akan diambil, pihak-pihak yang merasa dirugikan berharap dapat memberikan efek jera terhadap penyebaran informasi yang tidak berdasar dan melanggar hukum, sekaligus menegakkan prinsip keadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(Win/Relatif.id).